Selasa, 11 November 2008

Putri Dara Juanti


Putri Dara Juanti yang terkenal dalam sejarah kerajaan sintang yang membawa perhubungan dengan tanah jawa. Dalam sejarahnya Dara Juanti berlayar ke tanah Jawa untuk membebaskan saudaranya Demong Nutup (di jawa dikenal dengan nama Adipati Sumintang) yang ditawan oleh salah satu kerajaan di Jawa. Singkat cerita, di pelabuhan tuban Dara Juanti di hadang oleh prajurit kerajaan dan merupakan pertemuan pertama dengan seorang Patih dari Majapahit yaitu Patih Logender. Dari pertemuan itulah yang membuat hubungan keduanya semakin dekat, dan kemudian Patih Logender pergi ke Kerajaan Sintang untuk melamar Dara Juanti. Namun malang tak bisa di tolak Patih Logender harus pulang ke Jawa karena harus memenuhi persyaratan - persyaratan yang di minta oleh Dara Juanti. Diantara persyaratan itu antara lain : Keris elok tujuh berkepala naga, empat puluh kepala, empat puluh dayang-dayang, dan lainnya.
Dengan memenuhi persyaratan yang diminta dan semuanya terpenuhi barulah pinangan itu diterima bersama barang pinangan lainnya yang diserahkan oleh Patih Logender kepada Demong Nutup untuk meminang Puteri Dara Juanti. Selain persyaratan diatas, Patih logender menyerahkan barang-barang pinangan lainnya seperti seperangkat alat musik, patung burung garuda terbuat dari emas, sebongkah tanah majapahit, dan lainnya. Melihat barang pinangan sudah dipenuhi oleh Patih Logender sebagai persyaratan untuk meminang Puteri Dara Juanti, tidak lama kemudian pernikahan-pun dilangsungkan. Dalam catatan sejarah, pernikahan Putri Dara Juanti dengan Patih Logender diperkirakan tahun 1401 M, karena pada saat pernikahan usia Puteri Dara Juanti diperkirakan 27 tahun sedangkan Patih Logender diperkirakan diatas 50 tahun karena di Jawa Patih Logender sudah memiliki isteri dan mempunyai tiga orang anak. Dari Pernikahan itu keduanya dikarunia tiga orang anak, yang pertama dan kedua perempuan yaitu Dewi Kesuma dan Dewi Udara serta yang ketiga laki-laki bernama Abang Semat (Jubair Irawan II).

Masuknya Agama Islam di Kerajaan Sintang


Pada pertengahan abad ke – XVII, Kerajaan Sintang di perintah oleh seorang raja yang bernama Abang Pencin bergelar “ Pangeran Agung ”, Baginda Pangeran Agung adalah turunan ke – 17 dari Raja di Kerajaan Sintang yang pertama. Pusat Pemerintahan Kerajaan pada waktu itu terletak di wilayah yang disebut Pulau Perigi, yaitu ditengah kota Sintang dan pada saat sekarang perbatasan antara Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kelurahan Kapuas Kiri Hulu.
Baginda Pangeran Agung beserta sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, serta sebagian lainnya masih menganut faham animisme. Pada masa itu agama hindu telah berkembang dan tersebar dengan pesatnya di Kerajaan Sintang bagaikan cendawan di musim hujan, agama hindu berkembang sejak abad ke – XV yang dibawa dan di kembangkan oleh seorang Patih dari Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
1Begitu sampai ditanah Sintang kedua mubaligh langsung menghadap Baginda Raja Pangeran Agung, mereka berdua menyatakan keinginannya menetap di Kerajaan Sintang jika mendapat izin dari Baginda Raja, Sebagai mubaligh, tutur bahasa yang lemah lembut serta sopan santun dengan penuh rasa rendah hati menyebabkan Baginda Raja Pangeran Agung tertarik, dan atas izin Baginda Raja kedua mubaligh itu bertempat tinggal di rumah seorang Menteri. Dirumah Menteri itu kedua mubaligh tetap melaksanakan ibadah sholat sebagaimana mestinya. Tidak berapa lama sang menteripun tertarik ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua mubaligh tersebut dan pada suatu hari menteri memberanikan diri untuk menanyakan hal ihwal apa yang dikerjakan oleh kedua mubaligh tersebut. Kedua mubaligh itu saling silih berganti menerangkan kepada menteri pokok-pokok ajaran Islam, dan kemudian menteri bersama keluarganya menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Karena takut diketahui oleh Baginda Raja, semula menteri dan keluarganya mempelajari agama Islam secara diam-diam, hari demi hari telah dilewati, tapi raja yang selalu memperhatikan dan mengawasi gerak – gerik rakyatnya, akhirnya tahu juga.
2Suatu ketika menteri dan bersama kedua mubaligh itu dipanggil menghadap, dihadapan Baginda Pangeran Agung kedua mubaligh menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, mereka menjelaskan bahwa agama Islam itu bukanlah agama baru bahkan telah dianut oleh jutaan manusia di permukaan bumi. Disatu sisi agama Islam mengajak seluruh manusia agar hanya mengabdi kepada Allah SWT, dan di sisi Islam mengajarkan agar bergaul baik dengan sesama.
Kemudian Baginda Pangeran Agung bertanya kepada kedua mubaligh tersebut, apakah anda juga berhasrat mengajak kami kepada Islam ? dengan tegas Mohammad Saman menjawab “ tentu saja, Tuanku “ Bagaimana sikap kalian andaikata kami tidak bersedia ? Tanya Baginda Raja lagi. Kami tetap menghormati Tuanku dan berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku menyambut kami sambung Enci’ Shomad.
Baginda Pangeran Agung tersenyum dan langsung menyatakan bahwa dirinya memeluk agam Islam dan Baginda Pangeran Agung langsung mengucap Dua Kalimah Syahadat. Kemudian Baginda Pangeran Agung menambahkan bahwa beliau telah lama mendengar tentang agama Islam tetapi beliau belum sempat mempelajari secara mendalam. Konon baginda ingin menikah dengan putrid raja Sanggau yang sudah memeluk agama Islam, tetapi lamaran Baginda belum mendapat jawaban yang tegas. Dan setelah baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam utusan raja Sanggau datang membawa tanda mata.
3Tidak lama kemudian baginda Pangeran Agung menikah dengan putri dari kerajaan Sanggau yang bernama Dayang Mengkiang. Dengan didorong hasrat untuk memajukan agama baru, Mohammad Saman dan Ecci’ Shomad baginda angkat sebagai warga negeri kerajaan Sintang dan kemudian balai kerajaan dijadikan pusat penyiaran agama Islam. Kedua mubaligh baginda kawinkan dengan keluarga kerajaan sehingga merekapun makin dihormati oleh rakyat.
Setelah tersiar kabar Baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam, maka rakyat di kerajaan Sintang yang sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme berduyun – duyun memeluk agama Islam sehingga pemeluk agama Islam mulai berkembang. Setelah cukup lama memangku Jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, Baginda Pangeran Agung berpulang kerahmatullah, kedudukan sebagai Raja di Kerajaan Sintang diganti oleh Putra Mahkota yang bernama Pangeran Tunggal dan Beliau dinobatkan
sebagai Raja di Kerajaan Sintang yang ke XVIII. Kegiatan Baginda Pangeran Tunggal tidak kurang dari ayahndanya sehingga agama Islam semakin berkembang sampai ke pedalaman. Baginda menjalankan Pemerintahan cukup lama dan baginda Pangeran Tunggal yang merencanakan pembangunan Masjid yang pertama dalam kerajaan Sintang. Tetapi mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak, sebelum rencana terlaksana Baginda Pangeran Tunggal berpulang kerahmatullah.
4Karena Putra almarhum Abang Itot tidak memenuhi syarat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Putra mahkota almarhum yaitu Pangeran Purba tidak berada di negeri Sintang, karena sudah berkali – kali diberitahu tentang keadaan ayahnda semasa masih hidup bahkan sampai Baginda Pangeran Tunggal wafat pun Pangeran purba tidak datang dan pada akhirnya untuk di angkat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, diangkatlah keponakan almarhum Baginda Pangeran Tunggal sebagai Raja di Kerajaan Sintang ke XIX, yaitu putra dari Nyai Cili ( adik Pangeran Tunggal ) dan Mangku Negara Melik yang bernama Abang Nata, ketika itu Abang Nata masih berusia 10 tahun. Sementara menunggu dewasa Pemerintahan ditangani oleh seorang Wazir bernama Senopati Laket, Ia menjalankan pemerintahan sampai Raja berusia 20 tahun. Setelah Abang Nata berusia 20 tahun, maka beliaupun dinobatkan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, bergelar ‘ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin ‘.

Kerajaan Islam di Sintang (1651 M - 1855 M)


Raja di Kerajaan Sintang ke – XIX bernama Sultan Nata Muhammad Syamsuddin, dan merupakan raja pertama yang memakai gelar Sultan. Baginda menyempurnakan tata pemerintahan di kerajaan Sintang dan meneruskan pelaksanaan rencana pembangunan Masjid di Ibukota Kerajaan yang didirikan pada tanggal 12 Muharram 1083 H. Bersama orangtuanya Kyai Adipati Mangku Negara Melik, Baginda Sultan Nata menyediakan bahan bahan yang diperlukan dan langsung turun tangan dalam pembangunan Masjid bersama rakyat secara bergotong royong sehingga rumah ibadah tersebut selesai dalam waktu yang singkat. Dari situlah Baginda Sultan Nata memulai kegiatan untuk mengembangkan syiar Islam.
Walaupun masjid yang dibangun Baginda Sultan Nata Jauh berbeda dari masjid yang ada pada saat ini, tetapi itulah masjid pertama di Kerajaan Sintang yang begitu sangat sederhana dan hanya mampu menampung sekitar 50 orang jama’ah, tetapi itu bukan berarti membatasi jama’ah yang ingin sholat, tetapi itu adalah suatu hal yang sangat istimewa. Setiap waktu sholat, Baginda Sultan Nata ikut berjama’ah bersama rakyat. Dan sampai – sampai Baginda Sultan Nata mengeluarkan ancaman hukuman untuk setiap pemeluk Islam yang tidak mau ikut ke masjid. Sebagai pemimpin yang bijaksana dan penyebar agama Islam, Baginda Sultan Nata sering melakukan peninjauan ke seluruh wilayah kerajaan, yang didampingi oleh penghuku Luwan.
Dengan semakin bertambahnya pemeluk agama Islam di wilayah kerajaan Sintang, Bagindapun mengumumkan berlakunya hukum Islam di seluruh wilayah kerajaan Sintang. Pada masa pemerintahan Baginda Sultan Nata, perkembangan Islam begitu pesat, aturan per-undang-undangan di kerajaan berdasarkan syaria’t Islam, dan oleh masyarakat beliau diberi gelar “ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa’idul Khairri Waddin “ yang artinya pemimpin yang bijaksana dan penyebar agama. Tetapi pada saat itu lambang kerajaan masih memakai lambang yang lama berupa gambar tengkorak.
6Untuk biaya pemerintahan di kerajaan, Baginda Sultan Nata mewajibkan kepada setiap kepala keluarga menyerahkan sumbangan tertentu setelah selesai panen.
Dan semuanya dipatuhi oleh rakyat dengan tidak ada merasa terbebani karena jumlah yang Baginda tetapkan sangat kecil. Meskipun demikian, oleh karena Baginda Sultan Nata dalam kehidupan sehari - hari sangat sederhana, sebagian dari hasil – hasil yang diterima kerajaan kemudian baginda bagi – bagikan lagi kepada golongan miskin, sehingga suasana di kerajaan menjadi aman dan rakyat hidup berkecukupan.
Hasrat Baginda Sultan Nata untuk memupuk perkembangan Islam di wilayah kerajaan Sintang terus meningkat, Baginda Sultan Nata masih menghajatkan Kitab Suci Al – Qur’an untuk diajarkan kepada rakyat nya, sedangkan pada saat itu di kerajaan Sintang baru ada beberapa Surah dari Juz’amma yang sudah ada di pelajari.
Baginda Sultan Nata memerintahkan Penghulu Luwan untuk berkunjung ke Banjarmasin melalui jalan darat untuk mengusahakan salinan Kitab Al-Qur’an.Menjunjung tinggi titah Baginda Sultan Nata, Penghulu Luwan dengan ditemani oleh beberapa orang pejabat kerajaan berangkat ke Banjarmasin dan dalam kurun waktu selama tiga bulan disana merekapun pulang ke negeri Sintang dengan membawa sebuah Kitab Al-Qur’an yang sudah disalin diatas kertas.
7Baginda Sultan Nata sangat bergembira setelah menerima kiriman sebuah Kitab Al-Qur’an dari Sultan Banjarmasin, Baginda Sultan Nata bersama tokoh-tokoh Islam setempat belajar membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan Penghulu Luwan.
Hari – hari telah dilewati, pemeluk agama Islam semakin meningkat dan dalam tempo yang singkat ajaran Al-Qur’an sudah merata bagi rakyat di Ibukota Kerajaan. Pada tahun 1150 H, Baginda Sultan Nata mendapat sakit dan tidak lama kemudian tersiar kabar bahwa Baginda Sultan Nata telah berpulang kerahmatullah. Sebagai pengganti Raja di kerajaan Sintang ke - XX, maka diangkatlah putra Mahkota bernama “ Adi Abdurrahman “ bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin.
Disamping meneruskan pengembangan ajaran Islam di wilayah kerajaan, Baginda Sultan bersama dengan Penghulu Kerajaan bernama Madil bin Luwan, bergerak terus menyiarkan ajaran Islam sampai ke daerah – daerah bahkan sampai ke kerajaan tetangga di Kapuas Hulu seperti Suhaid, Silat, Selimbau dan Jongkong, yang pada saat itu masih menganut faham animisme.
8Pertama kali kedatangan Baginda Sultan kesana tidak mendapat perhatian dari Raja – raja tersebut, bahkan mereka menantang keras ajakan Baginda Sultan sehingga terjadilah peperangan. Setelah dapat dikalahkan, maka diadakanlah Surat Perjanjian Takluk dan barulah Raja – raja tersebut beserta rakyatnya memeluk agama Islam. Surat Perjanjian antara Raja Kerajaan Silat dengan Raja di Kerajaan Sintang ditulis diatas sekeping tembaga serta dibubuhi cap jempol kedua raja tersebut, dengan demikian maka wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang semakin meluas setelah ada surat perjanjian takluk dari Raja – raja Kapuas Hulu.
Setelah ajaran Islam seluruhnya dapat diterapkan, maka Baginda Sultan memerintahkan kepada Menteri Besar Sinopati Turas, supaya sebuah sungai yang terletak tidak jauh dari kawasan Masjid dijadikan tempat menjatuhkan hukuman yang yang bersalah, baik hukum pancung, hukum potong tangan maupun hukum rejam. Sungai tersebut diberi nama Sungai Pembunuh.

Datangnya Dua Orang Mubaligh Islam di Kerajaan Sintang

Pada masa Pemerintahan Baginda Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin, datanglah dua orang mubaligh Islam dari Pulau Sumatera, Kedatangan keduanya disambut Baginda Sultan dengan baik, dengan kedatangan dua orang mubaligh tersebut maka membuat perkembangan Islam semakin pesat di wilayah kerajaan Sintang. Mereka adalah Penghulu Abbas dari Aceh dan Rajo Dangki dari Pagaruyung Minangkabau. Melihat kepiawaian kedua mubaligh tersebut Baginda Sultan memberikan kedudukan kepada keduanya setingkay menteri.
Rajo Dangki disamping sebagai seorang mubaligh juga seorang pandai silat, ia memberikan pelajaran silat di mana-mana dan bukan hanya dikalangan generasi muda bahkan sampai yang sudah tuapun ingin belajar silat sehingga Ia sangat disukai. Berkat bimbingannya banyak penduduk negeri Sintang menjadi pandai silat dan tidak merasa takut lagi untuk
9mengahadapi peperangan.
Kehadiran kedua mubaligh itu sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Negeri Sintang, dan keduanya akhirnya menetap di Negeri Sintang dan tidak pulang lagi ke kampung halamannya. Baginda Sultan Abdurrahman mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Raden Mahmud, dan adiknya bernama Adi Abdurrasyid, yang pada waktu itu masing – masing berusia 10 tahun dan 7 tahun, setelah keduanya memasuki usia 13 tahun dan 10 tahun. Oleh Baginda Sultan kedua putranya itu diserahkan kepada Penghulu Abbas untuk di didik agama Islam dan bertempat tinggal di rumah Penghulu Abbas dan oleh Penghulu Abbas kedua putra Baginda Sultan itu diasuh dan di didik seperti anaknya sendiri, setelah dewasa barulah dikembalikan kepada orang tuanya. Pada waktu itu di Kerajaan Sintang benar-benar aman, baik di Ibukota Kerajaan maupun diluar dan demikian juga dengan perkembangan agama Islam yang semakin meningkat, perubahan – perubahan di Negeri Sintang sangat dirasakan oleh masyarakat, tetapi suasana dukapun tidak dapat dihindari, tepatnya pada tanggal 21 Bulan Sya’ban 1200, Baginda Sultan berpulang Kerahmatullah.
10Setelah wafatnya Baginda Sultan Abdurrahman Muhammad Djalaluddin, Pemerintahan di Kerajaan Sintang diteruskan oleh Putra Baginda yang kedua sebagai Raja ke – XXI, yaitu Adi Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid Muhammad Djamaluddin. Sedangkan Putra Baginda yang sulung yaitu Raden Mahmud sebagai Mangku Bumi yang bergelar Mangku Negara II.
Mendapat bantuan penuh dari Penghulu Abbas, Rajo Dangki serta Penghulu Antat bin Madil, Baginda Sultan Abdurrasyid meneruskan pengembangan Islam dan merambah ke daerah-daerah. Melihat perkembangan Islam semakin luas, Baginda Sultan membongkar Masjid peninggalan Baginda Sultan Nata dan membangun Masjid yang lebih besar yang dapat menampung sekitar 200 orang jama’ah, tetapi tiang Masjid yang di bangun baru ini masih menggunakan tiang Masjid yang lama hanya bahan-bahan lainnya yang benar – benar baru, serta tempat pembangunannya tetap ditempat asal masjid yang lama. Baginda Sultan Abdurrasyid adalah seorang Raja yang ‘alim, Baginda tekun menjalankan ibadah di dalam Masjid dan urusan Pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada kakaknya Raden Mahmud.
11Perkembangan Islam telah menonjol dan semua itu tidak terlepas dari pemimpin – pemimpin Negeri yang ta’at dan memegang teguh syari’at ajaran Islam, sehingga mengharumkan nama Kerajaan Sintang sampai kemana – mana. Baginda Sultan Abdurrasyid menikah dengan putrid Raja Sanggau yang bernama Utin Ibut dan di Karuniai tiga orang putra. Baginda Sultan Abdurrasyid memerintah hanya 10 tahun dan Baginda Sultan wafat pada tahun 1211 H. Pemerintahan di Kerajaan Sintang diteruskan oleh putra Baginda Sultan yang sulung, sebagai Raja Sintang ke – XXII, yaitu Ade Muhammad Noeh, bergelar Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin.
Dalam menjalankan Pemerintahan di Kerajaan Sintang Baginda Pangeran Ratu didampingi oleh Mangku Bumi, Yaitu Pangeran Ratu Muhammad Idris Kesuma Negara ibnu Raden Mahmud, Wazir I, Pangeran Koening Soerya Pati ibnu Raden Mahmud, Wazir II, Pangeran Anom Soerya Negara ibnu Raden Mahmud, Wazir III, Pangeran Ria ibnu Raden Mahmud, Wazir IV, dan Pangeran Aria Negara ibnu Pangeran Adi Negara, Wazir V. serta Penghulu Abbas dan Penghulu Antat bin Madil. Pada masa Pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, telah didirikan beberapa buah Balai tempat pusat pengajian dan di beberapa wilayah juga ada Balai Pertemuan di tiap – tiap Ibukota.

Kedatangan Kolonial Belanda di Kerajaan Sintang

Kerajaan Sintang yang sedang harum dengan perkembangan Islam, ketika itu pada bulan Juli 1822 rombongan Belanda yang pertama kali tiba di Negeri Sintang di bawah Pimpinan Komisaris Tinggi Mr.H,J. Tobias. Tapi ketika rombongan itu tiba, Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin tidak bersedia ditemui oleh rombongan mereka.
Rombongan Mr.H,J. Tobias, hanya dilayani oleh Mangku Bumi dan sejumlah pembesar – pembesar Kerajaan, namun pertemuan itu tidak menghasilkan suatu apapun.
12Karena tidak berhasil mengikat kontrak dengan Raja Sintang, rombongan Belanda yang dipimpin oleh Mr.H,J. Tobias, terus kembali ke Pontianak.
Setelah itu Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin mendapat sakit, semakin hari semakin memburuk, tidak lama kemudia Baginda berpulang Kerahmatullah setelah selama 40 tahun memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang.
13Setelah tersiar wafatnya Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, tidak berapa lama pada akhir bulan Nopember tahun 1822 M, rombongan Belanda yang kedua datang lagi ke Negeri Sintang di bawah pimpinan Pegawai Tinggi D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman dengan di temani oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak sebagai juru bahasa. Ia menceritakan kemajuan – kemajuan yang telah dicapai kerajaan – kerajaan di Pulau Borneo setelah mengadakan Kontrak Persahabatan dengan Gubernemen Belanda. Dengan sopan santun serta tutur kata yang lemah lembut sehingga menyebabkan pembesar-pembesar di Kerajaan Sintang akhirnya menerima kontrak persahabatan itu.Pada tanggal 2 Desember 1822 M, terjadilah suatu ikatan perjanjian persahabatan antara Gubernemen Belanda dengan Pihak Kerajaan Sintang, yang disebut dengan kontrak sementara ( Voorlopige contract ). Dari pihak Belanda ditanda tangani oleh D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman, sedangkan dari pihak Kerajaan Sintang oleh Pangeran Ratu Idris Kesuma Negara dan Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, dan di saksikan oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak dan Pangeran – Pangeran dari Kerajaan Sintang.
Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, sebagai penerus Pemerintahan di Kerajaan Sintang yang ke – XXIII, pada prinsipnya tidak menyetujui adanya kontrak persahabatan dengan Belanda, akan tetapi Baginda Raja tidak dapat bertindak sendiri karena sudah merupakan keputusan Menteri-menteri di Kerajaan Sintang. Sekalipun kontrak persahabatan sudah disetujui, namun Baginda Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin tetap meneruskan pengembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang, dengan dibantu oleh Penghulu Arsyad dan Sino Pati Shamad,
14Pada mulanya pihak Belanda hanya menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sintang, kian hari sedikit demi sedikit sudah memperlihatkan aksinya untuk menguasai dan mencampuri urusan Pemerintahan dan mengawasi perkembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang. Sehingga pada akhirnya apabila akan mengadakan tabligh harus mendapat izin dari pihak Belanda, demi untuk ketertiban didalam negeri Sintang. Melihat Gerak – gerik dari pihak Belanda yang semakin mencurigakan, maka timbulah ketegangan di kalangan Istana. Empat orang menteri Kerajaan yaitu Pangeran Kuning, Pangeran Anum, Pangeran Arya dan Pangeran Muda, yang pada awalnya sudah tidak menyetujui kontrak persahabatan dengan pihak Belanda, sehingga keempat Pangeran tersebut bangkit memberontak dan terjadilah pertempuran demi pertempuran sejak tahun 1825 M, hingga tahun 1861 M, sa’at keempat Pangeran tersebut sudah meninggal dunia.
Dalam suasana tegang dan keamanan terancam, da’wah Islamiyah sedikit mengalami kemunduran, tetapi walaupun demikian, semangat para mubaligh tetap tidak pernah padam, mereka berusaha dan giat mengembangkan ajaran Islam ke daerah pedalaman.
Ketegangan antara pihak Belanda dengan pihak pejuang-pejuang didaerah kian hari tambah memuncak dan berlarut-larut hingga memasuki awal tahun 1855 M, Pihak Belanda tidak dapat memadamkan api pemberontakan itu dikarenakan dari dalam Istana baik Baginda Raja maupun Mangku Bumi secara terselubung merestui perjuangan mereka dengan menyediakan fasilitas – fasilitas yang diperlukan. Pihak Belanda merasa kewalahan, dan pada akhirnya siasat baru ditempuh yaitu dengan membuat kontrak panjang yang disebut “ De Lange Politieke Contract “ yang berisikan 23 pasal, Kontak Panjang ini menyimpulkan system menjajah serta sekaligus mengambil alih dan monopoli semua sumber pemasukan Kerajaan.
15Pada awal bulan Maret 1855 M, oleh Komisaris Prins, disampaikan konsep kontrak panjang ini kepada Raja dan Mangku Bumi dengan maksud minta disetujui serta ditanda tangani. Raja dan Mangku Bumi mempelajari pasal demi pasal isi dari pada kontrak panjang itu, kemudian keduanya mengambil suatu kesimpulan yaitu daripada menyetujui kontrak panjang yang sudah terang – terangan menindas Raja dan Rakyat Kerajaan Sintang, lebih baik mengundurkan diri dari jabatan karena hal ini menyangkut rakyat banyak.
Pada sa’at itu juga keduanya di hadapan Komisaris Prins menyatakan bahwa keduanya akan menyerahkan jabatan sebagai Raja dan Mangku Bumi serta menunjuk Putra Mahkotanya bernama Ade Tuwan untuk pengganti Raja. Pernyataan Raja dan Mangku Bumi ini diterima dengan gembira oleh Komisaris Prins dan merestui atas penunjukan Putra Mahkotanya menjadi Raja di Kerajaan Sintang sehingga dengan demikian akan sukseslah kontrak panjang di Kerajaan Sintang.
Pada tanggal 5 Maret 1855 M, pelantikan Raja yang baru dilaksanakan dan sekaligus meresmikan berlakunya kontrak panjang atas tanah Kerajaan Sintang. Raja Sintang yang ke XXIV yaitu Ade Tuwan bergelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I, dalam susunan Pemerintahan status Mangku Bumi dihapuskan dan pihak Gubernemen Belanda mengangkat beberapa orang Pangeran sebagai pendamping Raja.

Redupnya Sinar Islam di Kerajaan Sintang


Dengan berlakunya kontrak panjang atas tanah di Kerajaan Sintang, dan mulai sa’at itu resmilah kekuasaan Gubernemen Belanda menjajah tanah Kerajaan Sintang dan berakhirlah status Kerajaan Islam di Sintang. Gubernemen Belanda telah memperoleh kemenangan menjajah, tetapi keamanan dan kekeruhan di Sintang semakin memburuk. Keempat Pangeran yang telah mengundurkan diri dari tata Pemerintahan Kerajaan Sintang, membuat benteng pertahanan baru di lembah sedaga nanga tebidah dan selalu melancarkan serangan ke Ibu Kota. Keempat Pangeran itu mendapat bantuan penuh dari seluruh rakyat dipedalaman sungai Kayan, sehingga sangat sulit bagi Gubernemen Belanda untuk menumpasnya.
Kekeruhan berlarut – larut dari tahun ke tahun hingga sampai memasuki tahun 1861 M, baru dapat dilumpuhkan oleh Militer Belanda setelah satu demi satu keempat Pangeran tersebut berpulang Kerahmatullah, akan tetapi Mangku Bumi Pangeran Ratu Muhammad Idris Kesuma Negara Ibnu Raden Mahmud, yang bermukim di nanga Kayan dapat ditipu dan ditangkap oleh Gubernemen Belanda dan kemudian diasingkan ke Kerawang – jawa Barat.
Perkembangan agama Islam semakin tampak kemundurannya dan apalagi setelah para mubaligh pada masa Pemerintahan Pangeran Adipati satu demi satu memenuhi panggilan Illahi, sedangkan generasi muda sebagai generasi penerus untuk menegakkan kembali pilar-pilar agama Islam tidak berdaya karena tekanan – demi tekanan semakin berat yang dimainkan oleh Gubernemen Belanda. Dari kelemahan – kelemahan para mubaligh itulah yang dapat memberikan pelauang kepada pihak Gubernemen Belanda untuk memainkan siasat buruk untuk melumpuhkan perjuangan agama Islam dengan jalan memecah belahkan serta mengadu dombakan antara yang satu dengan yang lain. Selain dari itu pihak Belanda menggunakan kesempatan pada waktu ada pesta di Istana Raja, Pihak Gubernemen Belanda merestui segala macam bentuk permainan judi, menyabung ayam, dengan kata lain demi untuk memeriahkan pesta tersebut, padahal permainan ini adalah bertentangan dengan Peraturan Kepolisian tahun 1855 yang dibuat oleh pihak Gubernemen Belanda. Sehingga akibat daripada itu rakyat Sintang menjadi korban dan bahkan menjadi pelopor permainan judi dan penyabung ayam.
Suasana yang semakin mencekam meliputi perkembangan umat Islam sekitar tahun 1857 – 1869 benar-benar sangat menyedihkan, tekanan dari pihak penjajah merupakan beban yang sangat berat bagi rakyat. Barang – barang keperluan hidup sehari-hari meningkat naik harganya, disebabkan factor ekonomi sudah dikuasai penuh oleh pihak penjajah, kecuali bagi rakyat yang sudah terpengaruh oleh pihak penjajah hidupnya tetap mendapat jaminan.
Sinar Islam semakin menunjukan kemundurannya bahkan seperti hampir – hampir tenggelam kedasar sungai, namun pertolongan Allaw SWT turun di negeri Sintang. Pada permulaan tahun 1870 M, datang beberapa orang pemuka Islam dari luar daerah dan dari luar negeri yaitu ; H. Azzahari dari Banten dan Tuanku Syarif Syahbuddin atau dikenal dengan nama Syarif Sahab dari Kerajaan Brunai Darussalam. Kedua mubaligh Islam itu mendapat restu dari Raja Sintang Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara dan keduanya di izinkan untuk mengembangkan ajaran agama Islam di Kerajaan Sintang serta diperkenankan bertempat tinggal dirumah Kiayi Kepala Desa. Dari rumah Kiayi tersebut kedua mubaligh Islam itu mengadakan da’wah dengan mengambil tempat pada surau-surau didalam kota Sintang sehingga mendapat sambutan hangat dan dukungan penuh dari pihak penduduk Ibukota .
Pihak Penjajah Belanda mula-mula ingin mencampuri dengan maksud hendak menghalangi, akan tetapi oleh karena Panembahan Sintang bersikap tegas serta bertanggung jawab penuh, maka pihak Penjajah Belanda pun tidak dapat berbuat apa – apa, karena pihak Penjajah Belanda mengkhawatirkan kalau-kalau terjadi lagi pemberontakan. Setelah beberapa tahun Tuanku Syarif Syahbuddin beserta kawan-kawannya menjalankan da’wah Islamiyah di Kerajaan Sintang, tiba-tiba beliau mendapat sakit dan tidak berapa lama kemudian beliau berpulang Kerahmatullah. Jenazah beliau dikebumikan di Sintang yaitu di komplek Teluk Menyurai tempat markas pertahanan Pangeran Muda. Sedangkan teman – temannya yang ikut ke Sintang memohon diri kepada Raja untuk kembali ke Brunai Darussalam melalui Sadong dan Serawak.
19Haji Azzahari yang sudah berkeluarga di negeri Sintang, dan beliau menetap di negeri Sintang dan menjadi warga Kerajaan Sintang dengan mendapat restu dari Raja Sintang Panembahan Abdurrasyid, dan beliau diangkat menjadi Penghulu Agama serta dianugerahi gelar “ Imam Qadhi Praja “. Kepada Penghulu Iman Qadhi Praja diserahkan untuk memimpin urusan agama Islam di dalam Kerajaan Sintang untuk mengkoordinir petugas-petugas agama Islam baik di dalam kota maupun diluar Ibu Kota sampai ke pelosok dan pedalaman. Setelah beberapa tahun kemudian peti jenazah Almarhum Tuanku Syarif Syahbuddin / Syarif Sahab, oleh kaum keluarganya yang datang dari Brunai Darussalam digali dan peti Jenazah almarhum dibawa pulang ke Brunai Darussalam.
Demikianlah perjalanan sejarah perkembangan agama Islam di Kerajaan Sintang dari tahun ke tahun silih berganti mengalami pasang surut hingga sampai pada tahun 1905 M, pada masa Pemerintahan Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II.
Awal tahun 1906 barulah syi’ar agama Islam mulai berjalan dengan lancar dikembangkan oleh Raja Sintang ke – XXVI yaitu Panembahan Haji Gusti Abdul Madjid Kesuma Negara III. Sewaktu Beliau dilantik menjadi Raja di Kerajaan Sintang, Beliau baru kembali dari tanah suci Mekkah menunaikan Ibadah Haji, sehingga semangat beliau untuk menghidupkan lagi api keislaman di tanah Sintang. Kegiatan Panembahan dalam dalam mengembangkan agama Islam menimbulkan curiga dari pihak Gubernemen Belanda, karena Baginda Raja sudah mulai tidak menta’ati perintah dan instruksi dari Gubernemen Belanda, sehingga pihak Belanda menaruh kekhawatiran kalau – kalau timbul pemberontakan yang dijiwai semangat Islam seperti apa yang telah terjadi pada Pangeran Kuning dan Pangeran lainnya.
Karena Pihak Belanda mau bertindak untuk memadamkan api keislaman di tanah Sintang, namun selalu gagal dilaksanakan karena apa yang hendak dilakukan oleh pihak Belanda sangat bertentangan dengan Undang – undang Adat Kerajaan Sintang yang telah diakui dan disetujui oleh Gubernemen Jendral di Betawi.
Belanda memainkan siasat barunya yaitu membuat “ Korte Verklaring “ atau perjanjian pendek antara Gubernemen Belanda dengan Panembahan Sintang, dalam mana dicantumkan selain dari mengakui wewenang penuh atas kedaulatan Raja Belanda diatas tanah jajahan, juga mengenakan “ Pajak Kepala “ atau dengan bahasa Belanda disebut “ Belasting “ disertai “Kerja Rodi” atau disebut “ Heerendienst “ yang kesemuanya itu menjadi beban bagi rakyat Kerajaan Sintang.
Sewaktu pihak Belanda yaitu Assistant Residen Van Sintang menyampaikan kepada Panembahan Sintang dengan maksud minta disetujui dan di tanda tangani, Panembahan H.G.A.A. Madjid, menolak dengan tegas serta mengatakan, rakyat saya sudah cukup memikul beban berat demi untuk kelancaran Pemerintahan Belanda, maka apabila dikenakan lagi beban berat seperti ini, berarti mereka ditindas dan diperas, sedangkan penghidupan rakyat saya dalam kesusahan. Setelah itu, pihak Belanda memainkan berbagai siasat untuk membujuk Panembahan dengan menjanjikan beberapa fasilitas untuk kesejahteraan pribadi Panembahan, namun semuanya itu ditolak secara tegas oleh Beliau.
Sejak sa’at itulah hubungan antara Gubernemen Belanda dengan pihak Kerajaan mulai tegang, dan dalam tahun 1911 M, Panembahan Sintang mengadakan gerakan didalam sungai tempunak untuk menyerang Penjajahan Belanda, Beliau mendapat dukungan penuh dari masyarakat pedalaman dan apalagi gerakan ini merupakan jalan untuk melepaskan rakyat dari genggaman tangan penjajah.
Gerakan Panembahan H.G.A.A. Madjid, ini berlarut sampai pada awal tahun 1913, baru saja merencanakan untuk mengadakan penyerangan ke kota Sintang, rahasia Baginda sudah diketahui oleh Gubernemen Belanda. Militer Belanda terus mengadakan penumpasan sehingga terjadilah tembak menembak dan pada akhirnya pasukan gerakan Panembahan dapat dikalahkan, dan Panembahan H.G.A.A. Madjid diturunkan dari tahta kerajaan oleh Gubernemen Belanda dan diasingkan ke Bogor.
Sepeninggalan Panembahan H.G.A.A. Madjid diasingkan ke Bogor, oleh Gubernemen Belanda diadakan Wakil Raja yaitu Adi Muhammad Djoen yang pada waktu itu menjabat sebagai assisten Demang di Nanga Bunut Kapuas Hulu. Pada tahun itu juga ( tahun 1913 M ) Adi Muhammad Djoen diresmikan sebagai Wakil Panembahan di kerajaan Sintang sementara menunggu Putra Mahkota Panembahan Abdul Madjid masih belum dewasa.
22Adi Muhammad Djoen Ibnu Pangeran Temenggung Setia Agama adalah seorang yang ta’at kepada ajaran – ajaran agama Islam, dan pada tahun 1913 M, itu juga Beliau telah dapat mendirikan beberapa sekolah di Sintang dan mendirikan maasjid pada kota yang belum ada rumah ibadah. Beliau mengangkat seorang Advisur Agama Islam yaitu Syaid Ali Al-Habsy, turunan dari Arab yang berasal dari Kerajaan Pontianak serta
diserahkan wewenang untuk mengembangkan ajaran Islam. Di Nanga Dedai diadakan pelajaran agama Islam dibawah pimpinan Syaid Ali Al-Habsy, walaupun Beliau berkedudukan di Sintang.
Wakil Panembahan Adi Muhammad Djoen telah merencanakan mendirikan Masdjid yang baru yaitu masjid yang kelima untuk menggantikan masjid yang lama serta merencanakan mendirikan sekolah agama di ibukota Sintang, tetapi malangnya rencana Beliau belum sempat tercapai, pada bulan April 1934 M, Beliau berpulang ke Rahmatullah dalam usia 51 tahun.
Kemudian Raja berganti baru yaitu Raden Abdul Bachri Danu Perdana, putra yang kedua dari Panembahan H.G.A.A. Madjid, Beliau inilah yang meneruskan rencana – rencana Wakil Panembahan Adi Muhammad Djoen. Masjid baru didirikan pada bulan rabiul awal 1354 H, atau bertepatan dengan bulan Juli 1935 M, sebagai masjid yang kelima dengan tetap menggunakan tiang yang bersejarah peninggalan Almarhum Sultan Nata Muhammad Syamsuddin.
23Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda atas tanah air Indonesia sekitar tahun 1937 – 1940 datang beberapa orang Guru Agama Islam dari Sumatera Barat ( Padang ) sebanyak sembilan orang yaitu : B. Djalaluddin Hatim, Ustadz Taparuddin, Ustadz Ayub Saleh, Ustadz Haji Mochtar Idris, Ustadz B. Dajuri, Ustadz Abdul Wahab, Ustadz Nunkar Sidin, Sutan Ma’sum dan Ustadz Ibrahim Achmad. Kesembilan Ustadz tersebut masing – masing menempati lokasi di daerah didalam kerajaan Sintang atas restu Panembahan Sintang, seperti di Kota Sintang, Na. Pinoh, Tanjung Lai Na. Pinoh, Kelawai Na. Pinoh, Nanga Serawai dan Ustadz H. Mochtar Idris menuju ke Jongkong Kapuas Hulu.Dalam tahun 1940 di Ibukota Sintang diadakan sekolah Agama Islam dibawah asuhan Ustadz Ibrahim Achmad dan Ustadz Nunkar Sidin. Sekolah Agama yang baru diadakan itu penuh dibanjiri oleh berbagai lapisan rakyat, kalangan anak- anak, pemuda, dan orang-orang tua.

Sabtu, 08 November 2008

Adat - Istiadat Melayu Sintang

I. Adat Perkawinan Melayu Sintang
Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada kami untuk menyusun dan menulis serta mengangkat dan mengingat kembali adat budaya kita yang hampir dilupakan akhir – akhir ini.
Diantara peribahasa yang kerap digunakan dalam masyarakat yang berkaitan dengan adat, mati dikandung tanah “ yang membawa arti bahwa setiap orang harus mentaati adat selama ia hidup dan jangan pula melupakan bahwa ia akan mati. Adat perlu diamalkan dikalangan warga masyarakat karena ia merupakan teras kepada semangat patriotisme.
Kebanyakan orang juga melihat adat itu sebagai adat resam, kebiasaan atau kelaziman. Adat resam adalah amalan yang diwarisi dan diteruskan dari satu generasi ke generasi yang lain dan telah dianggap sebagai jiwa raga masyarakat setempat. Jelasnya, adat resam juga adalah satu aspek kehidupan atau kebudayaan sesuatu masyarakat.
MENYUNSET (buka suara)
pihak laki-laki tersebut memberi utusan / perwalian datang ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan kepada orang tua perempuan yang dimaksud, apakah anak gadisnya yang bernama si A, itu sudah mempunyai ikatan kepada laki – laki lain atau belum.
MEMINANG (Melamar)
Dalam melaksanakan acara meminang ini, dari pihak keluarga laki-laki tersebut mengirimkan utusan / perwalian datang ke rumah pihak keluarga perempuan untuk membawa barang - barang hantaran berupa tanda ikatan pertunangan.
MENSURONG ( Hantaran Barang-barang )
Mensurong adalah hantaran barang – barang. Barang-barang ini adalah merupakan bantuan serta perlengkapan untuk calon mempelai perempuan dari pihak calon mempelai laki – laki dengan maksud untuk persiapan menghadapai hari resepsi pernikahan, barang-barang tersebut berupa adalah :Uang Adat, Uang Hantaran, Tempayan Kapat, Dinding Padong, Pesalin Orang tua ( Perempuan ), Langkah Batang, Perlengkapan barang – barang kelontong, Betangga’ Purih, dan Air Serbat.
AKAD NIKAH ( IJAB KABUL )
Untuk acara perlengkapan akad nikahnya memerlukan perlengkapan sebagai berikut :
Satu helai tikar bersegi empat yang dilapisi kain warna kuning serta yang keempat sudut–sudutnya diberikan hiasan sulaman (Sulam Betekad). Piring nasi ketan ( pulut ) yang diberi warna kuning dan ditaburi dengan inti ( nyiur yang sudah diparut dan diwarnai / dicampur dengan gula merah ) dan dihiasai dengan telur yang dinamakan nasi adab. Seperangkat tempat sirih dan tempat ludah. Tempat air minum.
BETANGAS
Adapun acara yang dinamakan betangas ini adalah suatu acara yang patut juga dilaksanakan oleh kedua mempelai tersebut ditempat masing-masing,untuk menghilangkan bau keringat yang melekat di badan dan juga untuk mengurangi keluarnya keringat diwaktu duduk di pelaminan,
SENGKELAN RUANG
Sebelum acara sengkelan ruang dilaksanakan, maka terlebih dahulu kedua calon mempelai melaksanakan acara adat mandi berias, adat mandi berias ini dilaksanakan sebelum matahari naik ( antara pukul 08.00 s/d 09.00 wiba ). Perlengkapan acara dimaksud berupa : Air Tepung Tawar, Daun Sabang Api, Daun Mali – mali, Daun Petabar, Kain warna kuning, dan Pisau cukur.
BERPACAR ( ber-inai )
Acara ini dilaksanakan pada malam hari, karena ke – esokan harinya akan melaksanakan arak-arakan (hari mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan). Pelaksanaan acara berpacar / ber-inai ini dilakukan oleh kedua mempelai di rumahnya masing-masing.
SELAMATAN ( Hari Resepsi)
Yang dimaksud dengan selamatan adalah merupakan hari resepsi perkawinan, yaitu mengantar mempelai laki-laki dari rumah kediamannya menuju kerumah kediaman mempelai perempuan.
Penganten laki-laki didampingi oleh sesepuh serta diikuti sanak famili. Sesampai didepan pintu rumah penganten perempuan disambut dengan adat ATAN PAGAR yang dihadang oleh orang yang tidak dikenal dengan membawa bakul.
NOPEN
NOPEN adalah merupakan kesenian tradisional jepin atau belangkah yang menggunakan topeng, yang selalu diadakan pada acara pesta pernikahan dan berlangsung pada malam hari. Jepin biasa dilaksanakan dengan acara khusus tanpa berlindung atau memakai topeng.
MANDI - MANDI
Sebelum acara mandi berias dilaksanakan, maka pada malam kedua setelah resepsi pernikahan diadakanlah acara menunggu (bedamah) air setaman, yang menurut adat sekurang-kurang nya pada waktu menunggu air setaman tersebut satu sampai tiga malam. Adapun air setaman ini dibawa ke ruangan tengah dihadapan pelaminan pengantin, dan disediakan tiga sampai tujuh buah Pasu’ atau tempayan kecil yang telah diisi dengan air dan beraneka warna bunga – bunga serta diberi wangi – wangian dan di sekeliling Pasu’ atau tempayan dihiasi dengan janur (daun kelapa muda) dengan berbagai bentuk seolah – olah ruangan rumah tersebut seperti sebuah taman pemandian.Serta diadakan hiburan seperti Al-Barjanji, Hadrah, Japin dan besyair, untuk menunggu air tersebut dan itulah yang dinamakan “ Bedamah Air “ atau menunggu air kembang setaman.
B E N A E T
Benaet adalah acara sujud ke rumah mertua ( orang tua mempelai laki – laki ), dirumah orang tua mempelai laki – laki tersebut ada acara yang dinamakan “ CELOK GATANG “ adapun acara ini oleh orang tua mempelai laki-laki disediakan di tengah ruangan satu buah gatang ( Tempayan Tempat Beras ) dan satu buah gatang ( Tempayan Tempat Garam ), kemudian yang pertama mempelai perempuan disuruh mencelo (mengambil) barang – barang yang ada didalam tempayan beras tersebut, karena didalamnya selain beras juga disediakan barang – barang berupa perhiasan seperti gelang, cincin ataupun kalung, ini merupakan buah kasih sayang mertua kepada menantunya.

II. Adat Sengkelan Kandung (Kehamilan)

III. Adat Nurun Anak ke Ae

IV. Adat Besunat (Khitanan)