Sabtu, 23 Juli 2011

“GARUDA” LAHIR DARI SINTANG


Garuda merupakan lambang Negara Indonesia, hampir semua orang tahu itu. Namun hanya sebagian orang saja yang mengetahui darimana asal-muasalnya dan bagaimana sejarahnya hingga menjadi lambang kebanggaan negara ini. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dia adalah Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak.

Dalam perjalanan mencari inspirasi tentang lambang Negara yang ditugaskan oleh Soekarno pada saat itu, Sultan Hamid II sempat berbincang-bincang dengan Ade Muhammad Djohan (Ketua Majelis Kerajaan Sintang). Dalam perbincangan tersebut diungkapkan oleh Ade Muhammad Djohan tentang lambang kerajaan Sintang yang bernama burung Garuda. Mendengar penjelasan tersebut, Sultan Hamid II tertarik untuk melihat atau menyaksikan secara langsung bagaimana bentuk lambang kerajaan Sintang.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio, Sultan Hamid II berkunjung ke Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam kunjungan kerja tersebut Sultan Hamid II menyempatkan diri untuk singgah di kerajaan Sintang untuk melihat secara langsung lambang Kerajaan Sintang dan Sultan Hamid II tertarik dan beliau mohon kepada Ade Muhammad Djohan (Ketua Mejelis Kerajaan Sintang) untuk dapat meminjamkan lambang kerajaan Sintang dibawa ke pontianak, dan oleh Ade Muhammad Djohan di setujui dan di saksikan oleh enam orang pegawai swapraja. Burung Garuda yang dipinjamkan oleh kerajaan Sintang pada saat itu adalah yang beukuran kecil yang terdapat pada gantungan tiang gong. Dengan peminjaman Burung Garuda dari kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II, itulah yang menjadi salah satu inspirasi beliau untuk menjadikan lambang Negara Indonesia dengan nama “GARUDA” serta dengan bentuk yang tidak jauh berbeda. Apabila diuraikan atau dianalisis lebih mendalam tentang peminjaman tersebut, maka apabila Sultan Hamid II tidak meminjamkan burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang diusulkan oleh anggota tim lainnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa “Garuda” yang dijadikan lambang Negara Indonesia? Bukan Cenderawasih, Rajawali, Elang, atau burung yang lainnya. Ada yang menyebutnya Garuda itu seperti Elang Jawa, atau seperti Elang Papua dan lain sebagainya. Dengan adanya penjelasan dari wawancara dengan salah satu saksi peminjaman yang saat itu masih dalam keadaan sehat mengatakan bahwa dalam dialog antara Sultan Hamid II dengan Ade Muhammad Djohan, disarankan oleh Ade Muhammad Djohan supaya lambang Negara menggunakan burung murai.

Kalau kita amati secara mendalam, dapat disimpulkan 80 % lambang Negara Republik Indonesia di adopsi dari lambang kerajaan Sintang, yang oleh Sultan Hamid II dijadikan inspirasi untuk merancang Lambang Negara Republik Indonesia. Mengapa…? Karena beberapa kali rancangan itu sempat ditolak (mengalami perubahan) oleh anggota panitia lambang Negara RIS lain, seperti M. Natsir misalnya, karena ada tangan manusia yang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal. Setelah mendapat banyak masukan untuk penyempurnaan rancangan itu, sehingga tercipta bentuk figur elang Rajawali. Disini burung Garuda digambar dalam bentuk alami menyerupai Elang Rajawali yang perkasa yang menyerupai lambang kerajaan Sintang saat itu. Sedangkan bentuk perubahan yang terjadi berupa penambahan dan pengurangan, seperti : bagian kepala menjadi berjamul dan menghadap ke kanan, perisai Pancasila digantungkan menempel pada leher Elang Rajawali Garuda Pancasila, dan bagian kaki menjadi terbuka dengan memegang pita semboyan Bhineka Tunggal Ika. Selain dari itu tidak ada perubahan yang mendasar baik dari bentuk maupun namanya. Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara Republik Indonesia “Garuda Pancasila”. Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan Sintang. Hal itu sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan ratusan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang mampu menyedot ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.

Sejarah singkat keberadaan “Burung Garuda” di kerajaan Sintang merupakan salah satu barang hantaran dari Patih Logender dari kerajaan Majapahit untuk mempersunting Putri Dara Juanti dari kerajaan Sintang diperkirakan sekitar tahun 1401 M. Pada masa pemerintahan Putri Dara Juanti sebagai raja di kerajaan Sintang burung Garuda tersebut dijadikan sebagai lambang kerajaan Sintang. Untuk memperjelas bahwa lambang kerajaan Sintang berupa burung Garuda, maka pada tahun 1807 M, pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin menjadi raja Sintang, dibuatlah duplikat patung burung Garuda yang berukuran besar yang di pahat oleh seorang tokoh dari suku Dayak yang bernama Suta Manggala, menyerupai bentuk aslinya yang terdapat pada tiang gong dan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II untuk merancang lambang Negara. Sebagai bukti sejarah patung burung Garuda yang berukuran kecil yang terdapat di tiang gong masih terawat dengan baik, walaupun ada sedikit kerusakan karena faktor usia dari bahan kayu untuk pembuatannya dan yang berukuran besar juga masih terjaga dan tersimpan rapi di istana kerajaan sintang.



Jumat, 22 Juli 2011

TANAH TANJUNG (Perjuangan Pangeran Kuning Melawan Kolonialisme)

Peristiwa Tanah Tanjung merupakan sebuah tempat yang sangat berharga pada pusat pemerintahan di kerajaan Sintang. Akibat dari masuknya pemerintah Belanda yang menjadikan Tanah Tanjung sebagai tempat mendirikan benteng pertahanan, dari itu mulainya sejarah perjuangan Pangeran Kuning yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Pangeran Kuning adalah seorang yang bijaksana serta tepat menjadi pemimpin dan tidak benar jika memandang pangeran ini sebagai seorang pemberontak. Keteguhan dan keberanian rupanya sangat membantu perjuangannya melawan kolonialisme dan akhirnya membuahkan hasil. Prinsip yang dipegang teguh oleh Pangeran Kuning adalah seorang yang budi pekertinya jujur, menepati janji dan seorang pangeran yang meduduki posisi sebagai wazir II di kerajaan Sintang pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Surya Negara Muhammad Djamaluddin sebagai raja. Ketokohan Pangeran Kuning bukan saja memiliki pengetahuan mendalam tentang seluk-beluk hukum agama tetapi sangat terampil pula dalam hukum Adat.

Seperti yang sudah dikatakan diatas, bahwa Pangeran Kuning adalah seorang pahlawan besar, yang sejak didalam pemerintahan kerajaan Sintang sebagai orang yang tidak menerima kehadiran kolonial Belanda di Sintang sudah diakui, baik oleh rakyat Sintang sendiri, maupun oleh musuh-musuh (kolonial Belanda). Kenyataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau. Sejak Pangeran Kuning meninggalkan istana untuk melawan kolonial Belanda. Dengan demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang kejadian-kejadian yang menyebabkan politik pemerintah di kerajaan Sintang diambil alih pemerintah kolonial Belanda.

Perang perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh laskar perlawanan di wilayah Sintang dibawah pimpinan Pangeran Kuning berlangsung ± 35 tahun (1822-1857). Bukti-bukti peninggalan sejarah sebagian besar telah musnah, para pelaku sejarah sudah kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang tersisa hanyalah catatan (manuscrips) dan tempat bersejarah sebagai saksi bisu yang mampu mengungkapkan peristiwa perlawanan ke permukaan yang patriotik dan heroik pada zamannya. Tentang perlawanan dimaksudkan itu, pihak kolonial Belanda sendiri telah mengakuinya sebagaimana termuat di dalam laporannya: pertama, Historische Aanteekeningen, Jaar 1889”, kedua,Chronologish-Ta Bellarisch Overz Icht Gesciedenis Garniz Oens-Bataljon De Westera Deeling Van Borneo. (Opgericht Ingevolge Gouvts. Besluit ddo. 8 Mei 1856) No. 10 (Kon. Nesluit dd. 2 Augustus 1853 Letter E.14). Mutaties, Veldtochten. Uitstekende Daden, Byzondere Verrichtingen En Ontvangen Beloeningan”.

Dengan adanya pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut, berarti ada bukti tertulis yang tak terbantahkan tentang kebenaran, keberadaan dan keabsahan perang melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sintang. Disamping itu memang tidak ada pemberontakan lain sebagai aksi perlawanan yang dimaksud yang terjadi pada kurun waktu dari tahun 1822 (saat pemerintah kolonial Belanda tiba di Sintang), dan pada tahun 1825 meletuslah gerakan perlawanan pertama kalinya yang dipimpin oleh Pangeran Kuning di Sintang yang pada akhirnya sampai beliau wafat ditahun 1857 perang terus berkecamuk, sehingga keputusan Gubernur Jendral Belanda dengan mengeluarkan pernyataan bahwa bagian Sintang pada tanggal 20 Desember 1856 berada dalam keadaan Perang (Darurat). Setelah beliau wafat aksi perlawanan tetap semarak, berkobar, dan berlanjut.