Kamis, 12 Januari 2012

"TANAH MAJAPAHIT" (diangkat dari sejarah Putri Dara Juanti Kerajaan Sintang dan Patih Lohgender dari Kerajaan Majapahit)

Sejarah tentang Dara Juanti berlayar ke tanah Jawa bukanlah hal yang baru. Tatkala ditelusuri akan membawa kita kepada kilas balik sejarah di awal tahun 1400 M. Betapa tidak? Kita tidak mungkin menafikan, atau menghilangkan begitu saja nama kerajaan besar di tanah Jawa. Kaitannya sangat erat dengan cikal bakal raja-raja Sintang selanjutnya, dan tidak bisa terlepas dari keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sebab nama Patih Lohgender tercantum dalam sejarah Majapahit, sebagai seorang patih pada masa pemerintahan Dewi Suhita yang bergelar Ratu Kencana Wungu turunan ke 6 dari Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1292.

Dalam perjalanan mencari abangnya Demong Nutup yang konon ditawan oleh kerajaan Majapahit. Saat tiba di tanah Jawa terjadi pertemuan yang singkat antara Patih Lohgender dengan Dara Juanti, situasi di kerajaan Majapahit semakin memanas, seakan-akan menunggu kehancuran karena perebutan tahta kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara, dimana Bhre Wirabumi (dikenal sebagai Minak Jinggo) Raja Belambangan memberontak. Ia tidak setuju dengan pengangkatan Dewi Suhita sebagai raja, Sebab ia merasa lebih berhak duduk di tahta Kerajaan Majapahit. Pararaton mencatat, Perang Paregreg (perang yang berangsur-angsur) yang berlangsung tahun 1401 – 1406 M antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406 M).

Kembali kepada pertemuan antara Patih Lohgender dengan Putri Dara Juanti di tanah Jawa, tersirat beberapa ujian yang diberikan oleh Patih Lohgender kepada Putri Dara Juanti sebagai bukti apakah Demong Nutup itu benar abangnya atau bukan. Ujian pertama adalah Dara Juanti dan Demong Nutup diminta untuk berbaring diatas satu buah pelepah daun pisang. Artinya apabila pelepah daun pisang itu pecah, maka mereka bukanlah saudara. Setelah melakukan ujian itu ternyata pelepah daun pisang sebagai alas untuk keduanya berbaring tidak pecah. Artinya mereka berdua benar-benar saudara.

Setelah melewati ujian pertama, Patih Lohgender masih belum puas, dia ingin membuktikan siapa sosok ksatria yang penampilannya mirip perempuan. Patih Lohgender menguji lagi untuk melompat sebuah sungai, karena menurut kepercayaan masyarakat di Majapahit saat itu apabila yang melangkahi sungai itu betul-betul seorang perempuan, maka dengan seketika dia akan datang menstrusai/haid akan keluar. Dara Juanti terdiam sejenak karena takut penyamarannya diketahui oleh Patih Lohgender. Tetapi tiba-tiba datang seekor burung elang yang selalu menemani Putri Dara Juanti menghampirinya seolah-olah berkata segera untuk melakukan ujian itu. Dengan penuh percaya diri Dara Juanti melakukannya tiba-tiba burung kesayangannya itu langsung menabrak dada Dara Juanti dan burung itu mengoyak dadanya sendiri sehingga darah segarpun bercucuran. Dengan melihat darah yang itu Patih Lohgender begitu yakin bahwa dalam penyamaran itu adalah seorang perempuan. Tetapi betapa kagetnya Patih Lohgender ketika Dara Juanti mengatakan bahwa darah itu adalah darah burung sembari menunjukan burung yang ada ditangannya. Namun saat itu Putri Dara Juanti kembali melompati sungai itu untuk menghampiri Patih Lohgender lagi, dan tanpa disadari penutup kepala Putri Dara Juanti terlepas. Dan pada akhirnya Putri Dara Juanti membuka semua tutup kepalanya dan menguraikan rambutnya yang panjang. Betapa kagetnya Patih Lohgender ketika melihat wajah cantik yang dihadapannya memiliki ilmu kenuragaan yang tinggi, yang ternyata kecurigaannya memang benar terjawab bahwa itu sosok wajah perempuan yang menyamar sebagai laki-laki.

Setelah dua ujian itu mampu dilewati oleh Putri Dara Juanti dan Patih Lohgender mengakui kehebatan dan keberanian Putri Dara Juanti. Sikap pemberani Putri Dara Juanti itu membuat seorang Patih dari kerajaan Majapahit terkagum-kagum. Tetapi apa yang dikatakan oleh Patih Lohgender pada saat itu ?.... Wahai Tuan Putri… ketahuilah..! jangankan untuk membawa abangmu pulang ke negeri asal mu, satu genggam tanah di majapahit pun tidak aku ijinkan untuk dibawa. Dara Juanti terus berusaha untuk memohon kepada Patih Lohgender, dan pada akhirnya iapun menjawab, saya siap membebaskan abang-mu dan mengijinkan untuk dibawa pulang ke negeri-mu, tetapi ada persyaratannya. Dara Juanti kaget dan bertanya… Apa persyaratannya tuan..? Dengan enteng Patih Lohgender menjawab “ Abang mu akan bebas asalkan tuan putri bersedia menikah dengan ku”.

Betapa terkejutnya Dara Juanti mendengar persyaratan yang diminta oleh Patih Lohgender dan sejenak terdiam seribu bahasa, dan pada akhirnya terjawab juga. Baiklah Tuan… saya bersedia, tetapi tuan harus memenuhi persyaratan ku juga yaitu “Tuan harus datang ke negeri dimana tempat ku berada”. Setelah keduanya sama-sama sepakat dan masing-masing menerima dan setuju dengan persyaratan, Dara Juanti segera membawa abangnya pulang ke negeri Sintang.

Singkat sejarah, setelah perang usai, Dewi Suhita (Ratu Kencana Wungu) memerintahkan kepada Temenggung Arya Kembar untuk mengasingkan kedua putra Patih Lohgender dan melepaskan semua jabatan dari struktur pemerintahan majapahit. Sejak kedua putranya diasingkan oleh Dewi Suhita, sebagai seorang ayah Patih Lohgender merasa malu dengan perbuatan kedua putranya, Patih Logender pun mengundurkan diri dan melepaskan semua jabatannya dari struktur pemerintahan kerajaan Majapahit. Dan pada akhirnya Patih Logender memutuskan untuk pergi ke Borneo tepatnya di negeri Sintang dimana tempat Puteri Dara Juanti memerintah sebagai seorang raja/ratu.

Kedatangan Patih Lohgender di Negeri Sintang memang benar-benar memenuhi persyaratan yang diminta oleh Dara Juanti. Tidak hanya itu, tetapi kecantikan Putri Dara Juanti itu sendiri yang membuat hati seorang Patih dari Majapahit rela melepaskan semua jabatanya untuk mencari jalan bagaimana caranya untuk dapat bertemu. Dengan menempuh perjalanan yang begitu jauh serta melelahkan, pada akhirnya Patih Lohgender tiba juga di negeri Sintang. Setibanya di negeri Sintang, betapa kagetnya Patih Lohgender, ternyata ksatria yang dia jumpai di pelabuhan Tuban itu adalah seorang raja muda yang arif dan bijaksana.

Singkat sejarah, akhir dari semua itu keduanya saling menyukai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Patih Logender meminang Puteri Dara Juanti kepada abangnya Demong Nutup. Namun pinangan itu ditolak oleh Demong Nutup dengan syarat pinangan itu akan diterima apabila Patih Lohgender sanggup mengeluarkan 40 orang kepala dan 20 orang gadis yang masih suci, keris elok tujuh berkepala naga serta barang lainya. Mendengar persyaratan itu Patih Logender kembali ke Jawa untuk menyiapkan persyaratan yang diminta oleh Demong Nutup untuk meminang adiknya Dara Juanti.

Kesempatan yang baik tidak disia-siakan oleh Patih Lohgender, berbekal pengalaman sebagai seorang patih di Majapahit dan juga sebagai seorang seniman, Patih Lohgender memanfaatkan waktu di desa kelahirannya yaitu desa Loh untuk mempersiapkan semua persyaratan pinangannya kepada Putri Dara Juanti. Yang lebih istimewa sebagai hasil karyanya adalah tiang penyangga gong besar yang diukir dengan bentuk ular naga sebagai penguasa sungai / laut yang di puncaknya terdapat burung Garuda bermahkota sebagai penguasa dunia atas. Selain itu juga terdapat sebongkah tanah yang disebut tanah Majapahit, Seperangkat Alat Musik Gamelan, Sebuah keris elok tujuh yang merupakan salah satu senjata pusaka Majaphit yang bernama Keris Naga Serinti, 40 orang kepala dan 20 orang gadis yang masih suci, serta busana cindai disebut Gerising Wayang yang merupakan kelengkapan pakaian mulai dari mahkota seperti yang terdapat dipuncak gantungan gong yang disebut juga dengan Jamang Mustika. Dengan membawa persyaratan yang diminta dan semuanya telah disiapkan barulah Patih Lohgender kembali lagi ke negeri Sintang untuk diserahkan kepada Putri Dara Juanti.

Burung Garuda Lambang Kerajaan Sintang dan Elang Rajawali Garuda Pancasila Lambang Negara

Setelah Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan, maka di Sintang hanya ada pemerintahan tunggal yaitu NICA dengan Beuwkes sebagai assisten residet. Susunan tata pemerintahan kerajaan disempurnakan berdasarkan pengakuan terhadap 12 daerah pemerintahan swapraja dan 3 daerah Neo Swapraja yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1926 dengan staatsblad 1948 (hasan, Syamsuddin, 1973). Dengan perkembangan inilah dalam tahun 1947 diangkat Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang. Ke 12 daerah Swapraja serta 3 daerah Neo Swapraja ini membentuk suatu gabungan yang merupakan sebuah Federasi. Federasi ini oleh pemerintah NICA diakui sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri melalui sebuah Dewan yang disebut Dewan Kalimantan Barat (DKB), dan daerahnya disebut Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Pengakuan ini dikeluarkan oleh Letnan Gubernur Jendral, tanggal 2 Maret 1948 (Staatsblad 1948 No. 58), (sumber bukuWajah Kalimantan Barat” Hal. 14).

Usia DIKB tidak lama, karena dengan surat keputusan No. 234/R dan 235/R tanggal 7 Mei 1950 menyerahkan wewenang pemerintahannya kepada Resident Kalimantan Barat di Pontianak sebagai wakil pemerintah Pusat RIS di saat itu. Kemudian Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan surat keputusan No. B.Z. 17/2/47 tertanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan bahwa Pemerintahan di Kalimantan Barat dijalankan oleh Residen Kalimantan Barat berlandaskan pasal 54 Konstitusi RIS.

Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang, beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari jabatan itu hubungan persahabatan keduanya semakin dekat, apalagi saat itu Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan lambang Negara. Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas lambing Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota parlemen RIS). Ade Mohammad Djohan menyatakan bahwa lambang kerajaan Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan Ade Mohammad Djohan, Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhir dari semua itu Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade Mohammad Djohan bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS berbentuk Burung Garuda.

Berhubung dengan itu Sultan Hamid II pada bulan Januari 1950 berkunjung ke Kapuas Hulu dan dengan sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan dengan Ade Mohammad Djohan tentang lambang kerajaan Sintang. Pada saat Sultan Hamid melihat fakta yang ada, beliau kagum dan sangat tertarik. Oleh karena itu Sultan Hamid II segera meminjamkan burung Garuda sebagai lambang kerajaan Sintang untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid sat itu adalah berukuran kecil yang menghiasi puncak penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.

Saat itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II tersebut kini di Simpan di Istana Kesultanan Sintang, yang telah ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.

Menurut A.M Sulaiman (83) salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan kronologi sejarah. Faktanya adalah Sultan Hamid II memang meminjam lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda. Faktanya lambang tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.” Ditambahkan lagi olehnya saat dialog antara keduanya, Ade Mohammad Djohan mengusulkan kepada Sultan Hamid II untuk mengusulkan Burung Murai sebagai lambang Negara, karena burung murai adalah burung pembersih atau rajin artinya tidak mau bermain-main ditempat yang kotor, oleh sebab itu apabila kita lihat sarang burung murai selalu dalam keadaan bersih.

Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila Sultan Hamid II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang diusulkan oleh anggota panitia lainnya.

Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia “Lahir Dari Sintang” sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan Lambang Negara Indonesia.

Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.