Usia DIKB tidak lama, karena dengan surat keputusan No. 234/R dan 235/R tanggal 7 Mei 1950 menyerahkan wewenang pemerintahannya kepada Resident Kalimantan Barat di Pontianak sebagai wakil pemerintah Pusat RIS di saat itu. Kemudian Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan surat keputusan No. B.Z. 17/2/47 tertanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan bahwa Pemerintahan di Kalimantan Barat dijalankan oleh Residen Kalimantan Barat berlandaskan pasal 54 Konstitusi RIS.
Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang, beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari jabatan itu hubungan persahabatan keduanya semakin dekat, apalagi saat itu Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan lambang Negara. Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas lambing Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota parlemen RIS). Ade Mohammad Djohan menyatakan bahwa lambang kerajaan Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan Ade Mohammad Djohan, Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhir dari semua itu Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade Mohammad Djohan bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS berbentuk Burung Garuda.
Berhubung dengan itu Sultan Hamid II pada bulan Januari 1950 berkunjung ke Kapuas Hulu dan dengan sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan dengan Ade Mohammad Djohan tentang lambang kerajaan Sintang. Pada saat Sultan Hamid melihat fakta yang ada, beliau kagum dan sangat tertarik. Oleh karena itu Sultan Hamid II segera meminjamkan burung Garuda sebagai lambang kerajaan Sintang untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid sat itu adalah berukuran kecil yang menghiasi puncak penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit.
Saat itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II tersebut kini di Simpan di Istana Kesultanan Sintang, yang telah ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.
Menurut A.M Sulaiman (83) salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan kronologi sejarah. Faktanya adalah Sultan Hamid II memang meminjam lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda. Faktanya lambang tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.” Ditambahkan lagi olehnya saat dialog antara keduanya, Ade Mohammad Djohan mengusulkan kepada Sultan Hamid II untuk mengusulkan Burung Murai sebagai lambang Negara, karena burung murai adalah burung pembersih atau rajin artinya tidak mau bermain-main ditempat yang kotor, oleh sebab itu apabila kita lihat sarang burung murai selalu dalam keadaan bersih.
Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila Sultan Hamid II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang diusulkan oleh anggota panitia lainnya.
Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia “Lahir Dari Sintang” sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan Lambang Negara Indonesia.
Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar