Selasa, 11 November 2008

Kedatangan Kolonial Belanda di Kerajaan Sintang

Kerajaan Sintang yang sedang harum dengan perkembangan Islam, ketika itu pada bulan Juli 1822 rombongan Belanda yang pertama kali tiba di Negeri Sintang di bawah Pimpinan Komisaris Tinggi Mr.H,J. Tobias. Tapi ketika rombongan itu tiba, Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin tidak bersedia ditemui oleh rombongan mereka.
Rombongan Mr.H,J. Tobias, hanya dilayani oleh Mangku Bumi dan sejumlah pembesar – pembesar Kerajaan, namun pertemuan itu tidak menghasilkan suatu apapun.
12Karena tidak berhasil mengikat kontrak dengan Raja Sintang, rombongan Belanda yang dipimpin oleh Mr.H,J. Tobias, terus kembali ke Pontianak.
Setelah itu Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin mendapat sakit, semakin hari semakin memburuk, tidak lama kemudia Baginda berpulang Kerahmatullah setelah selama 40 tahun memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang.
13Setelah tersiar wafatnya Baginda Pangeran Ratu Achmad Qamaruddin, tidak berapa lama pada akhir bulan Nopember tahun 1822 M, rombongan Belanda yang kedua datang lagi ke Negeri Sintang di bawah pimpinan Pegawai Tinggi D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman dengan di temani oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak sebagai juru bahasa. Ia menceritakan kemajuan – kemajuan yang telah dicapai kerajaan – kerajaan di Pulau Borneo setelah mengadakan Kontrak Persahabatan dengan Gubernemen Belanda. Dengan sopan santun serta tutur kata yang lemah lembut sehingga menyebabkan pembesar-pembesar di Kerajaan Sintang akhirnya menerima kontrak persahabatan itu.Pada tanggal 2 Desember 1822 M, terjadilah suatu ikatan perjanjian persahabatan antara Gubernemen Belanda dengan Pihak Kerajaan Sintang, yang disebut dengan kontrak sementara ( Voorlopige contract ). Dari pihak Belanda ditanda tangani oleh D.J. Van Dungen Gronovius dan C.F. Goldman, sedangkan dari pihak Kerajaan Sintang oleh Pangeran Ratu Idris Kesuma Negara dan Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, dan di saksikan oleh Pangeran Bendahara dari Kerajaan Pontianak dan Pangeran – Pangeran dari Kerajaan Sintang.
Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, sebagai penerus Pemerintahan di Kerajaan Sintang yang ke – XXIII, pada prinsipnya tidak menyetujui adanya kontrak persahabatan dengan Belanda, akan tetapi Baginda Raja tidak dapat bertindak sendiri karena sudah merupakan keputusan Menteri-menteri di Kerajaan Sintang. Sekalipun kontrak persahabatan sudah disetujui, namun Baginda Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin tetap meneruskan pengembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang, dengan dibantu oleh Penghulu Arsyad dan Sino Pati Shamad,
14Pada mulanya pihak Belanda hanya menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sintang, kian hari sedikit demi sedikit sudah memperlihatkan aksinya untuk menguasai dan mencampuri urusan Pemerintahan dan mengawasi perkembangan agama Islam di wilayah Kerajaan Sintang. Sehingga pada akhirnya apabila akan mengadakan tabligh harus mendapat izin dari pihak Belanda, demi untuk ketertiban didalam negeri Sintang. Melihat Gerak – gerik dari pihak Belanda yang semakin mencurigakan, maka timbulah ketegangan di kalangan Istana. Empat orang menteri Kerajaan yaitu Pangeran Kuning, Pangeran Anum, Pangeran Arya dan Pangeran Muda, yang pada awalnya sudah tidak menyetujui kontrak persahabatan dengan pihak Belanda, sehingga keempat Pangeran tersebut bangkit memberontak dan terjadilah pertempuran demi pertempuran sejak tahun 1825 M, hingga tahun 1861 M, sa’at keempat Pangeran tersebut sudah meninggal dunia.
Dalam suasana tegang dan keamanan terancam, da’wah Islamiyah sedikit mengalami kemunduran, tetapi walaupun demikian, semangat para mubaligh tetap tidak pernah padam, mereka berusaha dan giat mengembangkan ajaran Islam ke daerah pedalaman.
Ketegangan antara pihak Belanda dengan pihak pejuang-pejuang didaerah kian hari tambah memuncak dan berlarut-larut hingga memasuki awal tahun 1855 M, Pihak Belanda tidak dapat memadamkan api pemberontakan itu dikarenakan dari dalam Istana baik Baginda Raja maupun Mangku Bumi secara terselubung merestui perjuangan mereka dengan menyediakan fasilitas – fasilitas yang diperlukan. Pihak Belanda merasa kewalahan, dan pada akhirnya siasat baru ditempuh yaitu dengan membuat kontrak panjang yang disebut “ De Lange Politieke Contract “ yang berisikan 23 pasal, Kontak Panjang ini menyimpulkan system menjajah serta sekaligus mengambil alih dan monopoli semua sumber pemasukan Kerajaan.
15Pada awal bulan Maret 1855 M, oleh Komisaris Prins, disampaikan konsep kontrak panjang ini kepada Raja dan Mangku Bumi dengan maksud minta disetujui serta ditanda tangani. Raja dan Mangku Bumi mempelajari pasal demi pasal isi dari pada kontrak panjang itu, kemudian keduanya mengambil suatu kesimpulan yaitu daripada menyetujui kontrak panjang yang sudah terang – terangan menindas Raja dan Rakyat Kerajaan Sintang, lebih baik mengundurkan diri dari jabatan karena hal ini menyangkut rakyat banyak.
Pada sa’at itu juga keduanya di hadapan Komisaris Prins menyatakan bahwa keduanya akan menyerahkan jabatan sebagai Raja dan Mangku Bumi serta menunjuk Putra Mahkotanya bernama Ade Tuwan untuk pengganti Raja. Pernyataan Raja dan Mangku Bumi ini diterima dengan gembira oleh Komisaris Prins dan merestui atas penunjukan Putra Mahkotanya menjadi Raja di Kerajaan Sintang sehingga dengan demikian akan sukseslah kontrak panjang di Kerajaan Sintang.
Pada tanggal 5 Maret 1855 M, pelantikan Raja yang baru dilaksanakan dan sekaligus meresmikan berlakunya kontrak panjang atas tanah Kerajaan Sintang. Raja Sintang yang ke XXIV yaitu Ade Tuwan bergelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I, dalam susunan Pemerintahan status Mangku Bumi dihapuskan dan pihak Gubernemen Belanda mengangkat beberapa orang Pangeran sebagai pendamping Raja.

1 komentar:

Bambang Triono mengatakan...

apa kah benar nama sintang itu senentang.............????klo benar tolong dong pak postingkan ceritanya...