Selasa, 11 November 2008

Redupnya Sinar Islam di Kerajaan Sintang


Dengan berlakunya kontrak panjang atas tanah di Kerajaan Sintang, dan mulai sa’at itu resmilah kekuasaan Gubernemen Belanda menjajah tanah Kerajaan Sintang dan berakhirlah status Kerajaan Islam di Sintang. Gubernemen Belanda telah memperoleh kemenangan menjajah, tetapi keamanan dan kekeruhan di Sintang semakin memburuk. Keempat Pangeran yang telah mengundurkan diri dari tata Pemerintahan Kerajaan Sintang, membuat benteng pertahanan baru di lembah sedaga nanga tebidah dan selalu melancarkan serangan ke Ibu Kota. Keempat Pangeran itu mendapat bantuan penuh dari seluruh rakyat dipedalaman sungai Kayan, sehingga sangat sulit bagi Gubernemen Belanda untuk menumpasnya.
Kekeruhan berlarut – larut dari tahun ke tahun hingga sampai memasuki tahun 1861 M, baru dapat dilumpuhkan oleh Militer Belanda setelah satu demi satu keempat Pangeran tersebut berpulang Kerahmatullah, akan tetapi Mangku Bumi Pangeran Ratu Muhammad Idris Kesuma Negara Ibnu Raden Mahmud, yang bermukim di nanga Kayan dapat ditipu dan ditangkap oleh Gubernemen Belanda dan kemudian diasingkan ke Kerawang – jawa Barat.
Perkembangan agama Islam semakin tampak kemundurannya dan apalagi setelah para mubaligh pada masa Pemerintahan Pangeran Adipati satu demi satu memenuhi panggilan Illahi, sedangkan generasi muda sebagai generasi penerus untuk menegakkan kembali pilar-pilar agama Islam tidak berdaya karena tekanan – demi tekanan semakin berat yang dimainkan oleh Gubernemen Belanda. Dari kelemahan – kelemahan para mubaligh itulah yang dapat memberikan pelauang kepada pihak Gubernemen Belanda untuk memainkan siasat buruk untuk melumpuhkan perjuangan agama Islam dengan jalan memecah belahkan serta mengadu dombakan antara yang satu dengan yang lain. Selain dari itu pihak Belanda menggunakan kesempatan pada waktu ada pesta di Istana Raja, Pihak Gubernemen Belanda merestui segala macam bentuk permainan judi, menyabung ayam, dengan kata lain demi untuk memeriahkan pesta tersebut, padahal permainan ini adalah bertentangan dengan Peraturan Kepolisian tahun 1855 yang dibuat oleh pihak Gubernemen Belanda. Sehingga akibat daripada itu rakyat Sintang menjadi korban dan bahkan menjadi pelopor permainan judi dan penyabung ayam.
Suasana yang semakin mencekam meliputi perkembangan umat Islam sekitar tahun 1857 – 1869 benar-benar sangat menyedihkan, tekanan dari pihak penjajah merupakan beban yang sangat berat bagi rakyat. Barang – barang keperluan hidup sehari-hari meningkat naik harganya, disebabkan factor ekonomi sudah dikuasai penuh oleh pihak penjajah, kecuali bagi rakyat yang sudah terpengaruh oleh pihak penjajah hidupnya tetap mendapat jaminan.
Sinar Islam semakin menunjukan kemundurannya bahkan seperti hampir – hampir tenggelam kedasar sungai, namun pertolongan Allaw SWT turun di negeri Sintang. Pada permulaan tahun 1870 M, datang beberapa orang pemuka Islam dari luar daerah dan dari luar negeri yaitu ; H. Azzahari dari Banten dan Tuanku Syarif Syahbuddin atau dikenal dengan nama Syarif Sahab dari Kerajaan Brunai Darussalam. Kedua mubaligh Islam itu mendapat restu dari Raja Sintang Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara dan keduanya di izinkan untuk mengembangkan ajaran agama Islam di Kerajaan Sintang serta diperkenankan bertempat tinggal dirumah Kiayi Kepala Desa. Dari rumah Kiayi tersebut kedua mubaligh Islam itu mengadakan da’wah dengan mengambil tempat pada surau-surau didalam kota Sintang sehingga mendapat sambutan hangat dan dukungan penuh dari pihak penduduk Ibukota .
Pihak Penjajah Belanda mula-mula ingin mencampuri dengan maksud hendak menghalangi, akan tetapi oleh karena Panembahan Sintang bersikap tegas serta bertanggung jawab penuh, maka pihak Penjajah Belanda pun tidak dapat berbuat apa – apa, karena pihak Penjajah Belanda mengkhawatirkan kalau-kalau terjadi lagi pemberontakan. Setelah beberapa tahun Tuanku Syarif Syahbuddin beserta kawan-kawannya menjalankan da’wah Islamiyah di Kerajaan Sintang, tiba-tiba beliau mendapat sakit dan tidak berapa lama kemudian beliau berpulang Kerahmatullah. Jenazah beliau dikebumikan di Sintang yaitu di komplek Teluk Menyurai tempat markas pertahanan Pangeran Muda. Sedangkan teman – temannya yang ikut ke Sintang memohon diri kepada Raja untuk kembali ke Brunai Darussalam melalui Sadong dan Serawak.
19Haji Azzahari yang sudah berkeluarga di negeri Sintang, dan beliau menetap di negeri Sintang dan menjadi warga Kerajaan Sintang dengan mendapat restu dari Raja Sintang Panembahan Abdurrasyid, dan beliau diangkat menjadi Penghulu Agama serta dianugerahi gelar “ Imam Qadhi Praja “. Kepada Penghulu Iman Qadhi Praja diserahkan untuk memimpin urusan agama Islam di dalam Kerajaan Sintang untuk mengkoordinir petugas-petugas agama Islam baik di dalam kota maupun diluar Ibu Kota sampai ke pelosok dan pedalaman. Setelah beberapa tahun kemudian peti jenazah Almarhum Tuanku Syarif Syahbuddin / Syarif Sahab, oleh kaum keluarganya yang datang dari Brunai Darussalam digali dan peti Jenazah almarhum dibawa pulang ke Brunai Darussalam.
Demikianlah perjalanan sejarah perkembangan agama Islam di Kerajaan Sintang dari tahun ke tahun silih berganti mengalami pasang surut hingga sampai pada tahun 1905 M, pada masa Pemerintahan Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II.
Awal tahun 1906 barulah syi’ar agama Islam mulai berjalan dengan lancar dikembangkan oleh Raja Sintang ke – XXVI yaitu Panembahan Haji Gusti Abdul Madjid Kesuma Negara III. Sewaktu Beliau dilantik menjadi Raja di Kerajaan Sintang, Beliau baru kembali dari tanah suci Mekkah menunaikan Ibadah Haji, sehingga semangat beliau untuk menghidupkan lagi api keislaman di tanah Sintang. Kegiatan Panembahan dalam dalam mengembangkan agama Islam menimbulkan curiga dari pihak Gubernemen Belanda, karena Baginda Raja sudah mulai tidak menta’ati perintah dan instruksi dari Gubernemen Belanda, sehingga pihak Belanda menaruh kekhawatiran kalau – kalau timbul pemberontakan yang dijiwai semangat Islam seperti apa yang telah terjadi pada Pangeran Kuning dan Pangeran lainnya.
Karena Pihak Belanda mau bertindak untuk memadamkan api keislaman di tanah Sintang, namun selalu gagal dilaksanakan karena apa yang hendak dilakukan oleh pihak Belanda sangat bertentangan dengan Undang – undang Adat Kerajaan Sintang yang telah diakui dan disetujui oleh Gubernemen Jendral di Betawi.
Belanda memainkan siasat barunya yaitu membuat “ Korte Verklaring “ atau perjanjian pendek antara Gubernemen Belanda dengan Panembahan Sintang, dalam mana dicantumkan selain dari mengakui wewenang penuh atas kedaulatan Raja Belanda diatas tanah jajahan, juga mengenakan “ Pajak Kepala “ atau dengan bahasa Belanda disebut “ Belasting “ disertai “Kerja Rodi” atau disebut “ Heerendienst “ yang kesemuanya itu menjadi beban bagi rakyat Kerajaan Sintang.
Sewaktu pihak Belanda yaitu Assistant Residen Van Sintang menyampaikan kepada Panembahan Sintang dengan maksud minta disetujui dan di tanda tangani, Panembahan H.G.A.A. Madjid, menolak dengan tegas serta mengatakan, rakyat saya sudah cukup memikul beban berat demi untuk kelancaran Pemerintahan Belanda, maka apabila dikenakan lagi beban berat seperti ini, berarti mereka ditindas dan diperas, sedangkan penghidupan rakyat saya dalam kesusahan. Setelah itu, pihak Belanda memainkan berbagai siasat untuk membujuk Panembahan dengan menjanjikan beberapa fasilitas untuk kesejahteraan pribadi Panembahan, namun semuanya itu ditolak secara tegas oleh Beliau.
Sejak sa’at itulah hubungan antara Gubernemen Belanda dengan pihak Kerajaan mulai tegang, dan dalam tahun 1911 M, Panembahan Sintang mengadakan gerakan didalam sungai tempunak untuk menyerang Penjajahan Belanda, Beliau mendapat dukungan penuh dari masyarakat pedalaman dan apalagi gerakan ini merupakan jalan untuk melepaskan rakyat dari genggaman tangan penjajah.
Gerakan Panembahan H.G.A.A. Madjid, ini berlarut sampai pada awal tahun 1913, baru saja merencanakan untuk mengadakan penyerangan ke kota Sintang, rahasia Baginda sudah diketahui oleh Gubernemen Belanda. Militer Belanda terus mengadakan penumpasan sehingga terjadilah tembak menembak dan pada akhirnya pasukan gerakan Panembahan dapat dikalahkan, dan Panembahan H.G.A.A. Madjid diturunkan dari tahta kerajaan oleh Gubernemen Belanda dan diasingkan ke Bogor.
Sepeninggalan Panembahan H.G.A.A. Madjid diasingkan ke Bogor, oleh Gubernemen Belanda diadakan Wakil Raja yaitu Adi Muhammad Djoen yang pada waktu itu menjabat sebagai assisten Demang di Nanga Bunut Kapuas Hulu. Pada tahun itu juga ( tahun 1913 M ) Adi Muhammad Djoen diresmikan sebagai Wakil Panembahan di kerajaan Sintang sementara menunggu Putra Mahkota Panembahan Abdul Madjid masih belum dewasa.
22Adi Muhammad Djoen Ibnu Pangeran Temenggung Setia Agama adalah seorang yang ta’at kepada ajaran – ajaran agama Islam, dan pada tahun 1913 M, itu juga Beliau telah dapat mendirikan beberapa sekolah di Sintang dan mendirikan maasjid pada kota yang belum ada rumah ibadah. Beliau mengangkat seorang Advisur Agama Islam yaitu Syaid Ali Al-Habsy, turunan dari Arab yang berasal dari Kerajaan Pontianak serta
diserahkan wewenang untuk mengembangkan ajaran Islam. Di Nanga Dedai diadakan pelajaran agama Islam dibawah pimpinan Syaid Ali Al-Habsy, walaupun Beliau berkedudukan di Sintang.
Wakil Panembahan Adi Muhammad Djoen telah merencanakan mendirikan Masdjid yang baru yaitu masjid yang kelima untuk menggantikan masjid yang lama serta merencanakan mendirikan sekolah agama di ibukota Sintang, tetapi malangnya rencana Beliau belum sempat tercapai, pada bulan April 1934 M, Beliau berpulang ke Rahmatullah dalam usia 51 tahun.
Kemudian Raja berganti baru yaitu Raden Abdul Bachri Danu Perdana, putra yang kedua dari Panembahan H.G.A.A. Madjid, Beliau inilah yang meneruskan rencana – rencana Wakil Panembahan Adi Muhammad Djoen. Masjid baru didirikan pada bulan rabiul awal 1354 H, atau bertepatan dengan bulan Juli 1935 M, sebagai masjid yang kelima dengan tetap menggunakan tiang yang bersejarah peninggalan Almarhum Sultan Nata Muhammad Syamsuddin.
23Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda atas tanah air Indonesia sekitar tahun 1937 – 1940 datang beberapa orang Guru Agama Islam dari Sumatera Barat ( Padang ) sebanyak sembilan orang yaitu : B. Djalaluddin Hatim, Ustadz Taparuddin, Ustadz Ayub Saleh, Ustadz Haji Mochtar Idris, Ustadz B. Dajuri, Ustadz Abdul Wahab, Ustadz Nunkar Sidin, Sutan Ma’sum dan Ustadz Ibrahim Achmad. Kesembilan Ustadz tersebut masing – masing menempati lokasi di daerah didalam kerajaan Sintang atas restu Panembahan Sintang, seperti di Kota Sintang, Na. Pinoh, Tanjung Lai Na. Pinoh, Kelawai Na. Pinoh, Nanga Serawai dan Ustadz H. Mochtar Idris menuju ke Jongkong Kapuas Hulu.Dalam tahun 1940 di Ibukota Sintang diadakan sekolah Agama Islam dibawah asuhan Ustadz Ibrahim Achmad dan Ustadz Nunkar Sidin. Sekolah Agama yang baru diadakan itu penuh dibanjiri oleh berbagai lapisan rakyat, kalangan anak- anak, pemuda, dan orang-orang tua.

Tidak ada komentar: